Selasa, 10 Juni 2008

Cerita Humor


biar gak stress baca tulisan-tulisan yang ilmiah aja,...ne aku posting cerita-cerita humor...ok....

Alat Produksi yang Tidak Efisien

Seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat akhir baru saja putus hubungan dengan pacarnya yang seorang foto model sukses. Dalam kesedihan dan keputusasaan ia menulis dalam buku hariannya:

"Ia memang sangat menggairahkan. Tetapi adalah bodoh bila seorang ekonom seperti aku memilih dia. Biaya perawatan sehari-hari begitu tinggi, juga biaya operasionalnya. Sungguh-sungguh sebuah alat produksi yang tidak efisien!"


Sudah Memberi Tembakan Peringatan

Suatu ketika terjadi tanya jawab dalam sebuah persidangan yang mengadili seorang anggota polisi. Polisi itu didakwa telah melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain


Ia juga didakwa melanggar azas praduga tak bersalah.

"Apakah Saudara menyesal atas perbuatan yang telah Saudara lakukan?" tanya hakim.

"Ya Pak Hakim. Tapi ada yang lebih saya sesalkan lagi."

"Apa maksud Saudara?"

"Sebetulnya, saya telah mengambil tindakan yang benar, Pak Hakim. Justru tindakan korbanlah yang saya sesalkan. Dia telah melakukan dua kesalahan. Pertama, ketika saya beri tembakan peringatan, korban tetap saja lari. Kedua, pada saat saya membidikkan pistol le arah kakinya, tiba-tiba saja korban berhenti lari dan jongkok. Akibatnya, peluru saya nyasar ke kepalanya."


Pose Foto dengan Gaya Alami

Di suatu acara kelulusan SD seorang ibu sedang mencoba memotret anaknya yang baru lulus SD. Sang ibu menyuruh sang Ayah untuk ikut berpose bersama dengan si anak, dan memberi beberapa instruksi.

"Ayo ... bergayalah dengan gaya yang alami, jangan terkesan dibuat-buat," kata ibu.

"Nak ... rangkullah ayahmu, lingkarkan tanganmu di bahu ayahmu."

Lalu sang ayah menyahut, "Ibu ini macam-macam aja. Kalau mau gaya kami terlihat alami, kenapa tidak kau suruh anak kita untuk menaruh tangannya di dompetku."
Memiliki Nasib yang Lebih Parah dari Seorang Pengemis
Pengemis : "Kasih saya Rp. 500,00 untuk makan Tuan!"
Tuan rumah : "Tidak punya!"
Pengemis : "Kasih saya Rp. 300,00 untuk bubur, Tuan!"
Tuan rumah : "Tidak punya!"
Pengemis : "Kasih saya Rp. 100,00 untuk segelas teh, Tuan!"
Tuan rumah : "Tidak punya!"
Pengemis : "Wah...ternyata nasib Tuan lebih parah dari nasib saya!"


Memiliki Guru yang Kejam Tetapi Adil

Si kecil Fredie bercerita tentang guru barunya kepada Mamanya.

"Mama, guruku yang baru orangnya kejam tetapi adil."

Ibunya yang kurang paham maksud Fredie bertanya, "Apa yang kau maksudkan dengan kejam tetapi adil, Fredie?"

"Dia kejam terhadap semua orang!"

[Baca Selangkapnya »»]

Senin, 09 Juni 2008

Cara Belajar Yang Efektif


Proses Belajar Mengajar yang Efektif dan Efisien
Menurut Popham dan Baker dalam Hadi dkk (1992), proses belajar mengajar yang efektif adalah kemampuan untuk menghasilkan perubahan yang diharapkan dari kemampuan dan persepsi siswa. Lebih jauh, Popham dan Baker menjelaskan bahwa proses belajar mengajar yang efektif tergantung pada pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan proses belajar mengajar.
Sedangkan Alatis dan Altman (1981: 44) mengusulkan bahwa untuk memaksimalkan keefektifan, seorang guru perlu memahami ketidaksesuaian antara apa yang dibawa siswa dalam situasi pembelajaran bahasa yang formal dan tuntutan yang diminta oleh guru dan teks, tuntutan sistem ujian, dan harapan untuk prospek ke depan.


Ahli lain, McWhorter (1992: 3) menyatakan bahwa efisiensi adalah kemampuan untuk menunjukkan sesuatu dengan sedikit usaha, biaya, dan pengeluaran. Efisiensi mencakup penggunaan waktu dan sumber daya secara efektif untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Sebagai kesimpulan, ada dua hal utama yang diperlukan untuk mencapai proses belajar mengajar yang efektif. Pertama, harus ada kegiatan analisis kebutuhan siswa. Kebutuhan siswa adalah hubungan antara kemampuan dan harapan siswa dari proses pembelajarannya. Kedua, harus ada gambaran seperti apa sistem ujian yang dipakai. Jadi, harus ada kesesuaian antara kebutuhan siswa dan sistem ujian.
Pembelajaran Reading
Carrel dkk (1988: 12) menyatakan bahwa reading adalah kemampuan bahasa yabg reseptif. Maksudnya adalah proses psikolinguistik dimana hal ini dimulai dengan perwujudan unsur kebahasaan yang disandikan oleh penulis dan diakhiri dengan makna yang dibentuk oleh pembaca.
Reading (membaca) yang efektif adalah kemampuan seseorang untuk membentuk makna dari teks yang sesuai dengan maksud penulis. Seseorang dikatakan mempunyai kemampuan membaca secara efisien jika dia mampu menggunakan waktu yang tersedia dengan efektif untuk membaca dan memahami makna yang terkandung pada bacaan.
Pembelajaran Writing
Menurut Borowich (1996: 13), untuk melakukan kegiatan writing (menulis) yang efektif diperlukan banyak waktu, atau bahkan bisa dikatakan pemborosan waktu. Seorang penulis membutuhkan waktu yang longgar untuk mengekspresikan gagasan, menyusunnya, dan menulis ulang sehingga menghasilkan tulisan yang baik. Harmer (1983: 48) menuliskan bahwa dalam mengajarkan writing, guru harus mempertimbangkan beberapa hal, misalnya penyusunan kalimat menjadi paragraf, bagaimana paragraf digabungkan, dan pengelompokan gagasan sehingga menjadi tulisan yang koheren.
Dengan mengacu pada teori-teori di atas, seorang penulis akan menghabiskan banyak waktu untuk menghasilkan tulisan yang baik. Penulis melakukan berbagai langkah, mengungkapkan gagasan, menyusun dan menulis ulang gagasan tersebut. Efisiensi dapat diperoleh apabila penulis mempunyai konsep yang jelas sebelum memulai kegiatannya. Menulis secara efektif dan efisien akan menghasilkan tulisan yang baik yaitu tulisan yang koheren.
Pembelajaran Listening
Harmer (1983) menyatakan bahwa listening (mendengarkan) sebagai suatu keterampilan berbeda dengan writing. Dalam listening, pendengar tidak dapat melihat apa yang dia dengarkan, tetapi hanya bisa mendengarkannya. Harmer juga menjelaskan tentang kriteria materi untuk listening. Menurutnya, dengan melihat kesulitan yang ada dalam materi listening, kita akan mempunyai gambaran untuk menanganinya. Pertama, kita harus memahami materi seperti apa yang ingin didengarkan oleh siswa. Kedua, jika memungkinkan, guru memberikan bantuan kepada siswa untuk memahami teks. Yang terakhir dan mungkin yang paling penting, kita harus yakin pada kualitas tape recorder yang kita gunakan untuk kegiatan listening.
Pembelajaran Speaking
Menurut Finnochiaro dan Bonomo (1973: 110), untuk menumbuhkan minat dan mendorong komunikasi, percakapan sederhana harus diikutsertakan pada awal pembelajaran, lagu harus diajarkan, cerita harus diperkenalkan sehingga siswa dapat meresponnya. Tetapi, pada waktu yang bersamaan juga harus diajarkan tentang unsur-unsur bahasa yang lainnya, seperti grammar dan pronunciation.
Sedangkan Robinett (1978) menjelaskan bahwa aktifitas lisan akan lebih bisa dikendalikan, atau dengan kata lain lebih bebas. Dia juga menyatakan bahwa harus diperhatikan juga masalah yang berkaitan dengan pengucapan (pronunciation) pada waktu mengajarkan speaking.
Kesimpulannya, pembelajaran speaking (berbicara) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari terutama berkaitan dengan komunikasi yang dilakukan setiap hari. Untuk mencapai pembelajaran speaking yang efektif, proses pembelajaran harus berhubungan dengan percakapan yang autentik. Selain itu guru juga harus bisa mendorong siswa untuk mengekspresikan gagasannya dalam kelas. Dalam pembelajaran speaking, grammar (termasuk kosakata dan structure) sebaiknya diajarkan selangkah demi selangkah sehingga siswa dapat mengikuti dengan baik dan akan tercapai hasil sesuai yang diharapkan.


[Baca Selangkapnya »»]

Minggu, 08 Juni 2008

Bapak Psikologi Indonesia "Slamet Iman Santoso"


Profesor emeritus Fakultas Psikologi UI yang meninggal dalam usia 97 tahun, Selasa 9 November 2004 dini hari pukul 00.30, ini tidak saja perintis dan pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tetapi juga perintis studi psikologi di Indonesia. Patutlah dia digelari Bapak Psikologi Indonesia. Psikiater kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, ini juga ikut mendirikan beberapa universitas.Pria yang senang berpakaian putih-putih ini dikenal jujur, jernih, tegas dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Penerima Bintang Mahaputra Utama III (1973) ini, menurut puteranya Dr Oerip Setiono, meninggal setelah tiga tahun terakhir terbaring di rumah kediamannya, Jl Cimandiri 26, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo setelah sebelumnya disemayamkan di aula FKUI Salemba, Jakarta. Dia meninggalkan tujuh anak, 13 cucu dan delapan buyut. Isterinya, Suprapti Sutejo, sudah terlebih dahulu meninggal pada November 1983.Penerima penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta (UNJ) pada tahun 1978,


ini selain sebagai perintis dan pendiri Fakultas Psikologi UI juga ikut mendirikan Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin. Motivasi mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938), ini merintis dan mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater menemukan banyak masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Dalam bidang profesi kedokteran, dia menerima penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989. Sebagai seorang ahli psikologi, tahun 1961, dia memimpin sekitar lima puluh mahasiswa Fakultas Psikologi UI, mengunjungi penduduk yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan dan dipindahkan ke daerah Tebet dan Penjaringan. Mereka berdialog dengan penduduk tergusur itu. Kunjungan ini, menjadi awal pogram mahasiswa turun ke lapangan (masyarakat).Bidang studi psikologi pun makin menarik perhatian banyak orang. Masa-masa psikologi mengalami kesulitan (saat psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), seperti sudah terlupakan. Saat itu, kata Slamet dalam pidato ketika menerima penghargaan bintang jasa Mahaputra Utama III (1973), dia merasa ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini. Conny Semiawan, mantan rektor IKIP Jakarta yang juga murid dan sempat menjadi asisten Slamet Iman dalam menguji mahasiswa, mengenang Slamet sebagai orang yang sangat tertib, teliti dan juga memiliki wawasan yang sangat luas, selalu berfikir filosofis meskipun bukan ahli filsafat. Dalam menguji mahasiswa, Slamet selalu menegaskan jangan menanyakan apa yang kamu ketahui, tetapi usahakan untuk bertanya apa yang dipahami mahasiswa. Dengan demikian dialog akan terjadi dan mahasiswa dapat mengaktualisasikan dirinya.Menurut Conny Semiawan, Slamet adalah tokoh pendidikan yang berani. Dia adalah orang pertama mengusulkan perlunya satu standar bagi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Usul yang dia lontarkan sepanjang tahun 1979-1981 ini membuat heboh dunia pendidikan. Dia juga orang yang mengkritik keras minimnya gaji guru yang dia sebut dapat merusak dunia pendidikan. Dia membandingkan gaji guru jaman Belanda yang dua kali lipat daripada gaji dokter. Sehingga guru tak perlu mencari tambahan dan dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis.Dia juga mempunyai andil besar dalam merintis program penerimaan mahasiswa melalui UMPTN. Ketika itu (1979-1980), Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Saat itu terjadi booming lulusan SMA yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai contoh, UI yang kapasitasnya sekitar 800 mahasiswa tapi jumlah pendaftar 4000 orang. Maka melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu sistempenerimaan calon mahasiswa yang sejak 1979 sudah berlangsung dengan nama yang sekian kali berubah mulai dari Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pria yang dikenal terus terang dan sempat menjadi Penjabat Rektor UI, ini meskipun sudah mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pembaruan Sistem Pendidikan, 1980, ia masih sempat mengurusi penerimaan calon mahasiswa pada tahun 1981. Sudah sangat banyak tokoh pendidikan bekas murid Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953) serta mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Di antaranya, Conny Semiawan, Fuad Hassan, Sujudi, Wardiman Djojonegoro, Mahar Mardjono dan Saparinah Sadli. Para mantan mahasiswanya ini sangat menghormati dan mengagumi gurunya ini. Mereka mengenangnya sebagai guru yang sangat akrab dan suka menularkan pengalaman. Salah satu ucapannya dalam acara peringatan 100 tahun Albert Einstein di ruang Rektorat UI, 1979: ''Ciri orang pandai, hal yang ruwet bisa disederhanakan, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana.'' Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1973), ini juga penulis terkemuka. Dia sering menulis kolom di berbagai media dan juga menulis buku. Di antara bukunya yang terkenal adalah Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan; dan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, 1987. Sebagai dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, dia memasang iklan menutup praktek untuk selamanya, 1 Januari 1979. Dia menyadari dirinya sudah tua. Dia pun mengaku sudah capek. Lahir TerbungkusPemberian namanya, Slamet Iman santoso, terkait dengan proses kelahirannya. Dia dilahirkan dalam keadaan terbungkus ari-ari. Ketika itu, semua penduduk desa heran dan membicarakannya. Dia dianggap sebagai bayi ajaib. Dipercaya bayi yang lahir terbungkus ari-ari itu kelak akan mempunyai kelebihan. Sangat jarang kelahiran bayi terbungkus.Saat bayi terbungkus itu lahir, orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya: "Mana bayinya, mana bayinya?" Untunglah tidak semua penduduk desa panic terheran-heran. Seorang tetangga, Nyonya Tambi, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang membungkusnya. Bayi itupun menangis dan lahir dengan selamat. Maka kata selamat (menjadi Slamet) dijadikan nama jabang bayi yang baru lahir itu. Dia memang terlahir dari keluarga berpendidikan pada zamannya. Ayahnya seorang Asisten Wedana Banjaran. Di bawah pengasuhan ayahnya, Slamet menikmati masa kecilnya dengan penanaman nilai-nilai keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong. Dia pun berulangkali, kepada banyak orang, mengisahkan berbagai pengalaman masa kecil yang yang amat berkesan baginya. Salah satu pengalaman itu adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Eh, tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi. Namun dia beruntung, karena anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dia tertolong. Dia dan kawan-kawanya menceriterakan peristiwa itu kepada Ayah-Ibu Slamet. Sang Ayah dengan spontan mengharuskannya memberi makan si Macan (nama anjing tadi Pak Lurah) itu. Masa kecil dan remaja anak sulung dari dua bersaudara ini sangat bahagia. Ia ikut kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Saking nakalnya, dia dijuluki teman-temannya 'setan alas'. ''Saya senang main ketapel, berburu anjing dan burung,'' katanya, sebagaimana dikutip dalam Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Bahkan mengaku sekali-kali mengganggu orang. Namun masa kecil dan remajanya diisi dengan mengecap pendidikan pada jaman kolonial Belanda di Magelang, mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS (1912-1920) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO (1920-1923). Kemudian melanjut ke MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); dan Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934).Dia pun terkesan sangat mengagungkan pendidikan masa kolonial Belanda itu. Walaupun dia menyadari kondisi pendidikan ketika itu sangat berbeda disbanding setelah Indonesia merdeka. Dia mengenang, pada zamannya bersekolah dulu, sangat diasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan murid dan bersatu dengan orang tua murid. Hal yang sudah jarang terjadi saat ini. Masuknya Jepang, menurutnya, memberi andil atas awut-awutannya pendidikan di negeri ini. Terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrabnya hubungan orang tua-murid-guru, tiba-tiba hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan. Ironisnya, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Dia memberi beberapa bukti. Di antaranya, sekarang ada guru yang mengasih tahu bahan ujian yang akan diuji kepada murid.AbumawasProfesor emeritus Fakultas Psikologi UI ini juga dikenal sebagi tokoh yang jahil dan sering dinilai aneh. Dia sendiri mengibaratkan diri sebagai Abunawas. Karena, menurutnya, Abunawas itu tokoh penuh akal. Jiwa Abunawas itu pun banyak menyemangati hidupnya.Dalam buku, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, diceritakan sekali waktu dia melihat mobil seorang pejabat UI diparkir salah dengan posisi miring di halaman kampus UI. Ia mengambil kertas dan menulisnya dengan spidol: "Barangsiapa yang parkir mobil miring, otaknya juga miring". Ketika Bung Karno menanyakan pendapatnya mengenai semboyan "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit", Slamet dengan tenang menjawab "Nggak, malah saya gantungkan di cantelan baju. Kalau usang kan bisa diganti."Suatu ketika, dia menyatakan terheran-heran karena ada orang yang dipinjami buku, mengembalikan buku itu dengan utuh. "Baru sekarang saya temukan orang yang saya pinjami buku mengembalikannya dengan utuh," katanya. Dia bilang, hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada orang lain, dan orang yang mengembalikan buku pinjaman pun adalah orang gila.Hidupnya yang selalu ceria diwarnai canda memberi andil besar atas usianya yang lanjut (97 tahun). Padahal dia tak senang olah raga, termasuk olah raga pagi. Becanda, dia bilang: ''Pagi-pagi itu 'kan hawanya segar. Kok dipakai buat berkeringat, lebih baik dipakai untuk tidur.''

[Baca Selangkapnya »»]

Kamis, 05 Juni 2008

OT ( Outbound Training )


Pelatihan di alam bebas, yang sering dikenal sebagai outdoor training, merupakan salah satu metode pelatihan yang cukup populer sejak tahun 1980-an (Wagner, Baldwin, Roland, 1991). Perusahaan-perusahaan besar seperti AT&T, Xerox, General Electric, dan Marriott seringkali mengirim para eksekutif ataupun staff mereka untuk mengikuti kegiatan pelatihan di alam bebas (Long, 1987). Pelatihan tipe ini menjadi terkenal karena dianggap sangat efektif untuk mencapai berbagai tujuan pelatihan, misalnya pertumbuhan individu (Galagan, 1987) dan ketrampilan manajemen organisasi (Long, 1987). Tabel di bawah ini memberikan gambaran persentase pelatihan di alam bebas yang ingin mencapai tujuan tertentu (Wagner, Baldwin, & Roland; 1991):
Team building 90%
Self esteem 50%
Kepemimpinan 40%
Ketrampilan menyelesaikan masalah 20%
Pengambilan keputusan 15%


Tulisan ini berusaha menganalisis proses belajar yang terjadi di dalam metode pelatihan di alam bebas dan mengevaluasi efektivitasnya, terutama di dalam konteks team building dalam organisasi.
PROSES BELAJAR
Dengan menggunakan berbagai teori psikologi belajar yang telah diajukan para ahli di bidang pelatihan, di bawah ini akan dibahas hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para fasilitator pelatihan di alam bebas untuk memastikan bahwa para peserta maupun organisasi mencapai tujuannya.
Need Assessment: Memastikan bahwa pelatihan relevan
Dalam tulisan mereka, Buller, Cragun, & McEvoy (1991) mengajukan bahwa pelatihan di alam bebas yang optimal harus dimulai dengan training need analysis, misalnya berupa wawancara dengan sponsor-sponsor kunci, peserta program, atau staf SDM dari perusahaan klien. Pemikiran yang sama juga diajukan oleh Long (1987) dan Petrini (1990). Mereka mengatakan bahwa pelatihan di alam bebas harus didesain sesuai dengan kebutuhan organisasi tertentu.
Usulan ini sangat sesuai dengan best practice yang diajukan oleh Goldstein (1994), yang menyatakan bahwa langkah pertama dalam melakukan persiapan pelatihan adalah melakukan training need assessment. Hasil dari proses ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun tujuan, kriteria, dan desain pelatihan.

Sebuah contoh kasus dapat memperjelas fungsi dari training need analysis. Kegiatan berjalan di jembatan tali adalah salah satu kegiatan yang cukup populer dan sering diminta oleh klien ketika mereka menggunakan metode pelatihan di alam bebas. Namun, pelatih yang baik tidak akan begitu saja memenuhi permintaan ini. Kegiatan berjalan di jembatan tali bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi klien. Jika tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan individu, maka kegiatan berjalan di jembatan tali bisa dipilih karena dalam kegiatan ini individu dapat menemukan karakter-karakter pribadi yang mungkin sebelumnya tidak mereka ketahui, misalnya bagaimana mereka bersikap ketika merasa stress atau bagaimana mereka dapat mengatasi rasa takut. Namun jika tujuan pelatihan adalah team building atau kepemimpinan, kegiatan berjalan di jembatan tali tidak akan sesuai karena dalam kegiatan ini tidak banyak terjadi interaksi antar anggota kelompok, sementara interaksi sosial merupakan unsure penting dalam kegiatan team building atau kepemimpinan (Petrini, 1990).
Desain Pelatihan: Memastikan bahwa proses belajar benar terjadi
Menurut Kehoe & Bright (2003), ada empat prinsip utama yang mempengaruhi keberhasilan pelatihan: proses encoding untuk mengoptimalkan beban kognitif, memori yang membantu pembentukan skema, proses konstruktif yang mendorong interaksi antar individu, serta umpan balik yang memberikan bimbingan bagi peserta.
Keempat prinsip utama ini dapat diterapkan dalam mendesain pelatihan melalui beberapa strategi. Bagian tulisan ini akan membahas strategi-strategi yang digunakan dalam pelatihan di alam bebas.
• Beban Kognitif – Pengurutan dari yang Sederhana ke yang Rumit: Teori Beban Kognitif banyak digunakan oleh para ahli pelatihan untuk mendesain presentasi informasi yang paling optimal pada waktu pelatihan (Sweller, van Merrienboer, & Paas, 1998; Paas, Renkl, & Sweller, 2003). Dalam teori ini, salah satu hal utama yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki kemampuan memori jangka pendek yang terbatas dan keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menyusun informasi yang akan dipresentasikan di dalam pelatihan sehingga tidak terjadi kelebihan beban kognitif yang akan membuat pelatihan menjadi tidak efektif. Dalam konteks pelatihan di alam bebas, beban kognitif yang sesuai dapat dicapai melalui strategi pengurutan kegiatan, pelatihan dapat diawali dengan kegiatan yang sederhana atau mudah, dan kemudian makin lama menuju kegiatan yang makin rumit atau sulit. Petrini (1990) memberikan gambaran program pelatihan di alam bebas yang diawali dengan kegiatan yang sederhana dengan problem yang mudah diselesaikan, misalnya bagaimana caranya menyebrangi rawa-rawa beracun. Menjelang akhir program, peserta pelatihan bisa diberi tugas yang jauh lebih rumit misalnya misi SAR di mana mereka harus menggunakan berbagai ilmu yang sudah didapatkan pada kegiatan-kegiatan sebelumnya (seperti navigasi dengan kompas, mengendalikan rakit, membuat tangga dari tali untuk mengevakuasi korban, dsb). Dengan pengurutan seperti ini, peserta program dapat terhindarkan dari beban kognitif yang terlalu berat pada awal pelatihan karena beban kognitif yang terlalu berat tadi dapat memberikan pengaruh negatif pada proses belajar, hasil belajar, serta motivasi (van Merrienboer, Kirschner, & Kester, 2003).
• Proses Konstruktif – Elaborasi: Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam program pelatihan untuk memastikan terjadinya proses konstruktif adalah dengan memberikan kesempatan pada peserta pelatihan untuk mengelaborasi atau mencari hubungan antara materi pelatihan dengan KSA (Knowledge, Skill, dan Ability) yang sudah mereka miliki karena hal ini telah terbukti merupakan cara yang efektif untuk memastikan bahwa materi pelatihan akan diingat lebih baik oleh peserta (Kehoe & Bright, 2003). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, strategi ini bisa digunakan pada semua kegiatan. Semua pelatihan hampir selalu diikuti dengan sesi debriefing di mana peserta diberikan kesempatan untuk memberikan komentar mereka mengenai apa yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dan apakah kegiatan tersebut memiliki makna pribadi bagi mereka (Galagan, 1987). Fasilitator yang baik seharusnya dapat membimbing peserta untuk berdiskusi mengenai apakah kegiatan yang dilakukan relevan dengan tujuan pelatihan. Information processing dalam sesi debriefing ini seharusnya merupakan kunci dari proses belajar bagi peserta pelatihan di alam bebas (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991).
• Bimbingan – Penggunaan Umpan Balik: Umpan balik telah disepakati oleh para ahli sebagai bagian yang sangat penting dalam proses belajar (Kehoe & Bright, 2003). Dalam program pelatihan, umpan balik seringkali tidak diberikan secara formal oleh para fasilitator, melainkan diperoleh peserta dari kritik yang diterima (perilaku benar vs tidak benar) atau instruksi (bagaimana caranya untuk melakukan perilaku yang benar). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, fokus lebih ditekankan pada umpan balik dari sesama peserta, terutama dalam bentuk kritik. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh bahwa dalam salah satu kegiatan yang didesain khusus untuk itu, peserta diminta memberikan pendapat yang jujur mengenai sesama peserta. Diskusi dengan sendirinya terarah menjadi sesi umpan balik di mana setiap orang menerima kritik mengenai perilaku mereka dalam tim atau dalam hubungan interpersonal. Cara yang tidak seekstrim itu namun juga dapat menjadi sarana umpan balik dari sesama peserta adalah dengan memanfaatkan sesi debriefing yang diadakan setelah kegiatan selesai. Kelompok dapat diminta mengevaluasi mengapa mereka berhasil atau gagal menyelesaikan tugas yang diberikan (Petrini, 1990). Dalam sesi ini, problem di dalam kelompok akan ditemukan misalnya anggota kelompok mana yang tidak membantu (Long, 1987). Umpan balik yang efektif sebaiknya menggabungkan kritik dengan instruksi (Kehoe & Bright, 2003), karena itu sesi saling mengkritik seperti digambarkan di atas biasanya akan langsung dilanjutkan dengan sesi konstruktif di mana anggota kelompok dengan bantuan dari fasilitator mencari cara-cara untuk menghindari kesalahan yang sama pada kegiatan berikutnya. Sesi konstruktif ini juga dapat berfungsi sebagai zona netral karena sesi saling mengkritik ada kemungkinan menciptakan suasana defensif yang bisa memberikan pengaruh negatif pada prestasi kelompok. Dalam zona netral ini anggota kelompok (terutama mereka yang banyak menerima kritik) diberi kesempatan untuk berkontribusi dengan cara membantu menemukan solusi yang efektif untuk problem kelompok (Long, 1987).
Transfer dan Retrieval: Memastikan bahwa Hasil Pelatihan Diterapkan di Tempat Kerja
Salah satu kelemahan utama dari kebanyakan modul pelatihan adalah hasil dari proses belajar selama di pelatihan tidak tampak membantu karyawan meningkatkan hasil kerja setelah kembali ke tempat kerja. Hal ini mungkin disebabkan karena pelatihan tidak didesain untuk dapat ditransfer ke tempat kerja dan juga di tempat kerja tidak memiliki retrieval triggers. Kedua hal ini akan dibahas dalam paragraf-paragraf berikut ini.
Hasil belajar yang tidak dapat ditransfer ke tempat kerja merupakan salah satu kelemahan utama pelatihan di alam bebas karena pengalaman di alam bebas sangat unik dan berbeda dari pengalaman bekerja sehari-hari (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Kegiatan dan konteks alam bebas yang unik ini di satu pihak membantu peserta untuk merasa lebih bebas dari peran mereka sehari-hari sehingga mereka lebih berani melakukan hal-hal yang baru dibandingkan dengan pelatihan biasa di dalam kelas (Long, 1987). Namun di lain pihak, konteks alam bebas ini bisa menjadi terlalu berbeda sehingga hasil belajar tidak dapat ditransfer tanpa adanya bantuan tambahan.
Tidak adanya kemiripan fisik antara lingkungan pelatihan dengan lingkungan kerja disebut low physical fidelity dan hal ini bisa menganggu proses transfer hasil belajar yang spesifik. Dalam kasus pelatihan di alam bebas, di mana transfer yang diharapkan lebih bersifat tidak spesifik, low physical fidelity seharusnya tidak menjadi masalah besar, terutama jika fasilitator memberikan alat-alat bantu untuk memudahkan transfer hasil belajar ke situasi yang berbeda dari situasi pelatihan (Kehoe & Bright, 2003).
Alat-alat bantu yang banyak digunakan dalam konteks pelatihan di alam bebas adalah penggunakan metafora atau analogi. Transfer didasarkan pada kesamaan struktur dari dua problem, bukan kesamaan fisik (Kehoe & Bright, 2003). Long (1987) mengajukan adanya beberapa aspek dari kegiatan di alam bebas yang merupakan analogi dari kegiatan di tempat kerja, misalnya:
• Dinamika kelompok: kerja sama dalam kelompok, komunikasi, saling mendukung antar anggota, kompetisi dengan kelompok lain, memanfaatkan sudut pandang yang berbeda untuk menyelesaikan masalah, dsb.
• Tantangan dalam bidang manajemen: bagaimana mengelola kelompok yang selalu berubah, menetapkan tujuan bersama, risk management, dsb.
• Keterbatasan lingkungan: anggota kelompok yang berada di lokasi yang berbeda-beda, keterbatasan sumber daya, sistem reward yang bersifat kompetitif, dsb.
Salah satu kendala utama dalam transfer analogi adalah individu seringkali terjebak pada apa yang tampak di permukaan dan sulit menemukan inti permasalahan. Hal ini disebut masalah kontekstualisasi dan pelatihan di alam bebas dapat menggunakan hal-hal berikut untuk mengatasinya (Kehoe & Bright, 2003):
• Variasi kasus: Pelatihan di alam bebas yang baik tidak akan mengandalkan satu kegiatan saja untuk mencapai tujuan pelatihan tertentu, melainkan akan memanfaatkan beberapa kegiatan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh kasus di mana tujuan pelatihan untuk ‘mengatasi rasa takut’ mula-mula diperkenalkan melalui kegiatan berjalan di jembatan tali dengan ketakutan fisik (takut jatuh) sebagai analogi untuk ketakutan di tempat kerja. Pada hari berikutnya, kegiatan lain pun diadakan dengan tujuan yang sama. Peserta diminta melakukan sesuatu yang kemungkinan besar akan ditertawakan oleh peserta yang lain, dan kali ini ketakutan psikologis (takut ditertawakan) yang menjadi analogi bagi ketakutan di tempat kerja.
• Mencari skema secara aktif: Strategi ini kembali memanfaatkan sesi debriefing. Peserta diminta untuk secara aktif memberikan komentar mengenai bagaimana kesimpulan yang didapatkan dari suatu kegiatan dapat diterapkan di tempat kerja (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Dengan cara ini, peserta diharapkan tidak lagi terpaku pada konteks kegiatan di alam bebas melainkan memahami adanya kesamaan antara kegiatan pelatihan dengan kegiatan di tempat kerja.
• Solusi majemuk: Salah satu aspek lain yang cukup umum terdapat pada kegiatan pelatihan di alam bebas adalah tidak adanya jawaban pasti untuk masing-masing tugas yang diberikan. Dalam contoh menyebrangi rawa-rawa beracun yang telah disebutkan sebelumnya (Petrini, 1990), peserta bisa saja menciptakan jembatan gantung dari tali, menggunakan papan-papan sebagai jembatan, membuat rakit, atau menciptakan solusi lainnya selama masih memenuhi batas-batas yang diberikan fasilitator. Dengan demikian, peserta tidak terpaku mencari satu jawaban yang benar, dan dengan demikian diharapkan fokus pada kerja sama tim dapat dicapai.
Setelah peserta kembali di tempat kerja, bagaimana caranya mereka dapat ”mengingat” untuk menggunakan hasil belajar yang telah diperoleh di alam bebas? Banyak program pelatihan di alam bebas dilengkapi dengan cue yang akan membantu peserta mengubah materi pelatihan menjadi skema sehingga hasil belajar dapat segera diingat ketika situasi menuntut demikian (Kehoe & Bright, 2003).
Long (1987) memberikan contoh di mana retrieval hasil belajar dapat dilakukan dengan menggunakan cue yang sederhana seperti sepatah kata. Dalam contoh kasus yang diberikan, kata “spot” digunakan untuk mewakili kebutuhan individu untuk berhenti bekerja dan melakukan konsolidasi dengan anggota tim yang lain dengan tujuan meningkatkan kembali motivasi dan semangat kerja. Dalam kegiatan fisik, hal ini sangat relevan karena anggota tim bisa saja sewaktu-waktu berhenti dan minta “spot”. Anggota tim yang lain dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan, entah berupa bantuan fisik (seperti bantuan mengangkat rekan yang harus memanjat pohon) atau bantuan psikologis. Ketika tim kembali ke tempat kerja, sebenarnya tidak ada tuntutan fisik untuk saling melindungi dan mendukung antar anggota tim. Namun, jika seseorang menyebutkan “spot”, anggota tim yang lain akan segera mengingat pentingnya saling mendukung antara anggota tim sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan.
EVALUASI
Seperti juga metode pelatihan lainnya, keberhasilan atau kegagalan pelatihan di alam bebas hanya dapat diketauhi setelah diadakannya proses evaluasi. Sayangnya, banyak perusahaan tidak melakukan evaluasi untuk program pelatihan di alam bebas yang mereka adakan, walaupun biayanya bisa mencapai 2,000 USD per orang (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991). Kalaupun evaluasi dilakukan, kebanyakan hanya berupa evaluasi pribadi dari peserta pelatihan, yang menurut model Kirkpatrick (Tovey, 1997) tidak reliable jika tidak digabungkan dengan evaluasi jenis lain. Persentasi penggunakan metode evaluasi berdasarkan survei yang dilakukan oleh Wagner, Baldwin, & Roland (1991) adalah sebagai berikut:
Evaluasi pribadi dari peserta 60%
Tidak ada evaluasi 45%
Program follow-up 10%
Evaluasi dari manajer 5%
Data objektif 2%
Menurut model Kirkpatrick, secara ideal seharusnya ada empat tingkatan evaluasi untuk program pelatihan; yaitu (Tovey, 1997):
• Tingkat reaksi: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pelatihan di alam bebas dan kebanyakan peserta akan memberikan rating yang sangat baik untuk jenis pelatihan seperti ini (Galagan, 1987; Petrini, 1990).
• Tingkat Pembelajaran: Penilaian biasanya dilakukan selama atau di akhir program pelatihan untuk memastikan bahwa peserta telah benar-benar mempelajari KSA yang baru. Namun, hal ini jarang sekali dilakukan pada pelatihan di alam bebas. Sesi debriefing merupakan satu-satunya sarana untuk memperoleh bukti bahwa para peserta telah memperoleh insight sesuai dengan desain dari kegiatan di alam bebas tersebut (Long, 1987).
• Perubahan perilaku atau ketrampilan: Tingkat ini berusaha mengukur perubahan yang terjadi setelah peserta kembali di tempat kerja. Roland (dalam Wagner, Baldwin, & Roland, 1991) menyebutkan adanya sebuah penelitian yang mengevaluasi transfer dari pelatihan di alam bebas ke tempat kerja untuk para manajer tingkat menengah. Para peserta pelatihan melaporkan bahwa setelah pelatihan, mereka berinteraksi secara lebih efektif baik dengan atasan maupun bawahan dan juga mereka dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Para atasan dan bawahan mereka juga memberikan kesimpulan yang sama. Selain penelitian ini, beberapa ahli lain juga mendukung bahwa pelatihan di alam bebas memang benar-benar dapat menghasilkan perubahan di tempat kerja (Long, 1987).
• Tingkat organisasi atau prestasi kerja: Belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan jenis ini pada organisasi secara keseluruhan. Banyaknya organisasi yang memilih menggunakan pelatihan jenis ini bisa menjadi indikasi bahwa organisasi-organisasi memiliki persepsi bahwa pelatihan di alam bebas bermanfaat bagi mereka (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991).
Walaupun jumlahnya terbatas, bukti-bukti sejauh ini tampaknya mendukung bahwa pelatihan di alam bebas merupakan tipe pelatihan yang cukup efektif. Namun hingga evaluasi yang lebih sistematis telah dilakukan, akan sangat sulit bagi kita untuk memutuskan ketrampilan kerja seperti apa yang paling efektif dikembangkan melalui pelatihan metode ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buller, P.F., Cragun, J.R., & McEvoy, G.M. (1991). Getting the most out of outdoor training. Training and Development Journal. 45, 3, 58-66.
Galagan, P. (1987). Between two trapezes. Training and Development Journal. 41, 3, 40-48.
Goldstein, I.L. (1994) Training in work organisations. In M. Dunnette & L.M. Hough (Eds), Handbook of Industrial and Organisational Psychology (2nd ed, vol 2). (pp. 507-619). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Kehoe, E.J. & Bright, J.E.H. (2003) Personnel training and development. In M. O’Driscoll, P. Taylor, & T. Kalliath (Eds), Organisational Psychology in Australia and New Zealand (pp. 56-77). Melbourne: Oxford University Press.
Long, J.W. (1987). The wilderness lab comes of age. Training and Development Journal. 41, 3, 30-39.
Paas, F., Renkl, A., & Sweller, J. (2003). Cognitive load theory and instructional design: Recent developments. Educational Psychologist, 38, 1, 1-4.
Petrini, C.M. (1990). Over the river and through the woods. Training and Development Journal. 44, 5, 25-34.
Sweller, J., van Merrienboer, J.J.G., & Paas, F.G.W.C. (1998). Cognitive architecture and instructional design. Educational Psychology Review. 10, 3, 251-296.
Tovey, M.D. (1997). Training in Australia: Design, delivery, evaluation, management. Sydney: Prentice Hall.
van Merrienboer, J.J.G., Kirschner, P.A., & Kester, L. (2003). Taking the load off a learner’s mind: instructional design for complex learning. Educational Psychologist. 38, 1, 5-13.
Wagner, R.J., Baldwin, T.T., & Roland, C.C. (1991). Outdoor training: Revolution or fad? Training and Development Journal. 45, 3, 51-56.

[Baca Selangkapnya »»]

Rabu, 04 Juni 2008

Psikologi dan Kekuasaan


Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua jenis mahluk, yaitu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah menyiratkan kasta kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu dikaitkan dengan praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi, karena ketika dirunut pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi, apalagi mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi. Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi masuk akal mass production (yang memungkin adanya hirarki, sentralisasi, kategori) saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah yang agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.


Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas, terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi ‘ilmuwan psikologi’ seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA (American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang Deddy Corbuz! ier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[5]? Apakah peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas? Apakah peraturan itu l! antas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para “klien” benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf, mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani kasus riil satupun).
Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya. Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena bagaimanapun, untuk masalah penggunaan ‘jasa psikologi’; fakta di lapangan yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya, inilah yang justru men! jadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes. Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat tes tersebut mengungkap psike.
Ini persis seperti yang dijelaskan oleh Jean Francois-Lyotard mengenai keruntuhan narasi-narasi besar dan munculnya narasi-narasi kecil. Imbas dari spirit di jaman posmodernisme. Pada jaman ini, kode etik adalah sebuah narasi besar yang memiliki potensi untuk berbenturan dan diruntuhkan oleh narasi-narasi kecil yang berbasis pengalaman riil.
Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik psikologi[6].
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi? Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.
Saya mencoba menghadirkan pembahasan mengenai kuasa dalam pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini. Salah satu tokoh yang lantang berbicara mengenai kekuasaan adalah Michel Foucault, yang mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan di mana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam[7]. Dalam hal ini, HIMPSI adalah bagian dari sebuah institusi kekuasaan yang bertugas untuk memapankan kelompok orang-orang tertentu, terutama dari kemungkinan terlindas oleh persaingan dari orang-orang di luar kelompok tersebut.
Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di mana-mana; tetapi bukan berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain. Kita dapat secara lebih cermat melihat pada fenomena pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini.
Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural. Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik. Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak ban! yak orang yang secara cermat menyadari ini.
Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk modal ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya, sumber-sumber efeknya juga[9]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan sosial[10]. Inilah kunci yang per! tama kali harus dipahami oleh orang-orang yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.
Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya. Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia ketika berhadapan deng! an pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam situasi itu.
Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki keterhubungan erat dengan ‘modal’. Sebagian habitus itu berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[11]. Habitus adalah konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual possesion (“the body is in the social world but the social world is in the body” - Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus mengalami improvisasi. Sebagai analog! i, gambaran ini mirip dengan musisi yang melakukan “jam session” [12].
Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[13]. Hubungan dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alas! an legitimasi, maka pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not competition; legitimate by symbol not competency!
Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi, menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat suatu relasi produksi yang timbal balik[14]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien hingga mereka yang memperoleh “modal simbolik” dari pengategorian Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima dan memercayai segala sesuatu “begitu saja”, maka seketika itulah rantai kekuasaan beroperasi.
Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[15]. Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu struktur tertentu untuk menutupi realitas.
Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan: psikologi, sosiologi, ekonomi, kriminologi, dan jurnalisme. Semua ranah pemahaman tersebut memproduksi hasil tertentu dan menghasilkan kriteria keilmiahan yang kemudian menjadi ukuran kebenaran, sehingga pada gilirannya membentuk dan menguasai individu. Dengan psikologinya, seorang psikolog bisa mendefinisikan seseorang sebagai sosok matang, kekanak-kanakkan, menyimpang, abnormal, dll. Padahal, tidak semua hal bisa dijelaskan oleh psikologi. Lebih ironis lagi jika kita temukan kenyataan bahwa tidak semua psikolog mengerti psikologi. Keadaan menjadi bertambah runyam ketika orang-orang yang tidak mengerti psikologi ini malang melintang menilai, menginterpretasi dan mengategorikan orang. Silang sengkarut ini tampak dari perubahan pengategorian manusia dalam psikologi. Dalam studi Foucault misalnya, ditemukan bahwa orang g! ila mengalami pergeseran kategori dari “orang tak bermoral” menjadi “orang yang mengalami gangguan jiwa”. Kita juga dapat mencermati bahwa sekian tahun lalu gay digolongkan sebagai abnormal, sementara sekarang gay digolongkan sama normalnya dengan mereka yang heteroseksual. Lantas, dari sini kita bisa menarik sesuatu. Seberapa benar sebuah pengategorian? Bagaimana implikasinya bagi kemanusiawian? Apa tanggung jawab yang bisa diberikan pada mereka yang dulu terlanjur dikategorikan tak normal? Apakah pernah memperhitungkan perlakuan masyarakat terhadap seseorang yang dikategorikan tak normal? Lalu apa kenormalan itu? Bagaimana orang-orang yang mengategorikan normal-tak normal itu berbicara mengenai kenormalan dirinya di hdapan figur-figur seperti: Beethoven, Einstein, Leonardo Da Vinci, Michelangelo atau Nietszche? Kekacauan pengategorian sebenarnya terjadi ketika orang percaya begitu saja pada sesuatu atau menempatkannya sebagai dogma. Sejarah membuktikan itu ketika gereja pernah menganggap bahwa bumi ini flat dan menghukum mereka yang berpendapat bahwa bumi ini bulat.
Bagaimana beroperasinya kekuasaan, sehingga sesuatu bisa diterima “begitu saja” atau ditempatkan sebagai dogma? Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu! [16]. Gereja yang mengatak bahwa bumi flat,memiliki kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri ditempatkan sebagai sesuatu yang bernilai keagungan sehingga memiliki kuasa. Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam pengategorian Ilmuwan Psik! ologi dan Psikolog.
Kekuasaan manifest dalam Habitus yang merepresentasikan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan suatu ‘prisma kemungkinan persepsi’, yang menempatkan bermacam-macam disposisi sosial yang, menurut logika utamanya, memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial[17]. Habitus sebagai suatu bangunan disposisi bersama, kategori-kategori klasifikasi dan skema-skema generatif, jika tak ada lagi yang lain, merupakan sejarah kolektif yang dialami sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted), kebutuhan aksiomatik terhadap realitas objektif[18]. Inilah sebabnya tak banyak orang bisa melihat kekuasaan, bahkan orang kerap tak menyadari bahwa dirinya sudah jatuh dalam jejaring kekuasaan.
Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.
Kekuasaan pada banyak hal sebenarnya bertujuan untuk menghindari ketakstabilan posisi atau ancaman yang datang untuk menggoyang suatu posisi. Jika anda adalah seorang Psikolog dan memiliki lisensi beserta konsekuensi hak yang terberikan sesuai kode etik psikologi bikinan Himpsi itu, maka posisi anda dalam “rimba psikologi Indionesia” akan termapankan dan tak perlu takut oleh ancaman dari “pendekar-pendekar” yang tak memiliki lisensi. Sementara, para “pendekar-pendekar” itu, tak selalu sepaham dengan Himpsi, terutama berkaitan dengan tata cara dan penggunaan alat yang menurut Himpsi sudah dibakukan. Sementara di sisi lain, Masyarakat, yang dalam hal ini banyak bertindak sebagai pengguna atau klien bisa jadi hanya akan melihat dan memercayai begitu saja mereka yang memegang lisensi. Tak peduli seberapa kemampuan mereka dan bagaimana sejarah perolehan lisensi itu. Di sini! lah bahaya implikasi kekuasan itu. Pernahkah terpikir untuk memberi kompensasi pada para gay yang dulu pernah dikategorikan tidak normal? Pernahkah terpikir bagaimana perlakuan masyarakat ketika mereka dikategorikan tak normal? Ini tak hanya terjadi pada kasus gay, namun juga siswa-siswi yang setiap awal tahun ajaran diharuskan mengikuti psikotes. Sementara, jika dicermati banyak sekali kelemahan dari sebuah psikotes karena validasinya yang tak pernah diungkapkan secara jelas. Pun ke-”aus”-an akurasi karena ketidakmampuan tes itu mengantisipasi percepatan perkembangan jaman, luput dari cermatan.
Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk “menormalisir” agar situasi tetap terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai b! entuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya.
Ada tiga hal penting dalam komponen kekuasaan/pengetahuan, yaitu Disiplin Ilmu, Institusi, dan Tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem regulasi ini. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance) harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat. Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran. Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi. Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat, menentukan ma! na yang mendominasi dan terdominasi.
Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat (social trajectory dan class distinction). Modal oleh Bourdieu juga dilihat sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-pelaku)[19]. Dalam pertarungan di arena ini, apa yang luput terjelaskan oleh Bourdieu, ada dalam paparan Foucault yaitu keberadaan aparat. Pertarungan dalam arena menjadi semakin berat ketika penguasa modal menempatkan “aparat” untuk mengatur pertarungan itu.
Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu[20].
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat ini, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen. Kegiatan-kegiatan yang diatasnamakan kelimiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya[21].
Penelitian historis Foucault terhadap kegilaan misalnya, adalah serangan Foucault terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kegilaan bagi Foucault bukan merupakan sesuatu yang secara kodrati adalah penyakit. Penelitiannya membuktikan bahwa pada suatu masa kegilaan bukan dikonsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ke tingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diiisolasi, bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin lainnya tidak. Prinsip penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme[22].
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi. Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang kesehatan menta seorang terdakwa. Haki! m pasti akan memanggil ahli psikologi jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari beraneka ragam tokoh psikologi[23].
Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan, bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar ‘psikologi dalam’ (karena sejauh pengenalan saya ia ! hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa ditutup dengan penguasaan modal simbolik.
Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah. Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Seb! uah permainan yang mematri perilaku badani yang sehat, normal, dan baik[24].
Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[25]. Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan. Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh legitimasi.
Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain. Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas, status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas segalanya adalah kuasa untuk menciptakan ‘versi resmi dunia sosial’[26].
Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Dalam investigasi, orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi. Di sini Foucault mencoba membuat model yang membuat orang mengerti dominasi atau teknologi kekuasaan yang luput dari perhatian Marxisme klasik. Teknologi kekuasaan, seperti Panopticon atau sistem disiplin, dikomposisi oleh konglomerasi diskursus dan praktek, menit demi menit ditata untuk mengendalikan tubuh dan pikiran. Level pengertian bisa didekati oleh rujukan pada subjek atau bentuk kesadaran, tetapi lebih pada melalui analisis yang cermat akan ranah objektivitas. Melalui Bourdieu, kita bisa belajar banyak untuk memetakan arena. Mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka mengoperasikan modalnya. Apa yang ditawarkan oleh Foucault dan Bourdieu, dapat menjadi bekal b! agi kita untuk lebih cermat melihat realitas dan tidak bersikap taken-for-granted.
Refleksi
Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan:
§ Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara pro! fesi dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim dirinya punya kuasa.
§ Kedua, pembatasan-pembatasan itu sebenarnya tak pernah dekat dengan upaya menjaga kualitas atau layanan, namun justru memasung potensi-potensi yang ada karena tak memiliki sertifikasi. Pembatasan itu juga membuat mereka yang tak berpotensi bisa berlindung di balik sertifikat untuk mendongkrak harga dirinya. Suatu kemampuan absurd dan simbolis, dapat dilekatkan pada yang tak berkemampuan dengan adanya sertifikasi tersebut. Pada perkembangan globalisasi yang cenderung meniadakan sekat-sekat kelas, jelas ini berpotens! i membuat tenaga-tenaga potensial dari negeri sendiri terpinggirkan, sementara yang bersertifikat tapi tak memiliki kemampuan juga akan tetap kalah dalam kompetisi dengan tenaga asing.
Dengan menerima begitu saja segala finalitas pendefinisian, maka pertumbuhan kita akan mati. Kita akan tak pernah berpusat pada pengembangan potensi melainkan menenggelamkan diri dalam arus birokrasi. Implikasi dari semua ini, psikologi dan semua insan di dalamnya, akan mati dalam birokrasi.
Semoga menjadi cermatan!
© Audifax – 10 Juni 2005



Catatan-catatan:
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Kode Etik Psikologi Indonesia – Pedoman pelaksanaan Kode etik psikologi Indonesia; (2003); HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia); Pasal 1 butir a; hal. 8.
[3] Ibid; Pasal 1 butir b; hal. 8-9
[4] Ibid; Pasal 1 butir d; hal. 10
[5] Frans mungkin telah banyak melakukan prognosis, diagnosis, bahkan konseling dalam berbagai perusahaan. Yang setahu saya dia telah memiliki teorinya sendiri tentang sumber daya manusia yang (kalau tidak salah) sering disebutnya “manusia berdaya”; Harefa saya rasa sebenarnya j! uga telah melakukan modifikasi perilaku ketika dia melakukan pelatihan-pelatihan motivasi atau perubahan kinerja;. Atau bagaimana dengan Deddy Corbuzier dan Romy Rafael yang bermain-main dengan alam bawah sadar manusia? Atau bagaimana para pakar dunia mistis bermain-main dengan psike melalui para relawan yang bersedia tubuhnya menjadi mediasi?
[6] Kode Etik Psikologi Indonesia op cit; Pasal 9 hal.15
[7] Eriyanto (2001) Analisis Wacana – pengantar analisis teks media; Yogyakarta : LKIS; hal. 65-66
[8] Haryatmoko; (2003); Etika Politik dan Kekuasaan; Jakarta: Penerbit Kompas; hal. 217
[9] Cheleen Mahar, Richard Harker, Chris Wilkes; (1995); (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik; diedit oleh Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes; saduran Pipit Maizier; Yogyakarta: Jalasutra; hal. 6
[10] Ibid
[11] Ibid; hal. 15
[12] Richard Light; The Body in Social World and the Social World in the body: Applying Bourdieu’s Work to Analyses of Physical Activity in Schools; online documents:http://www.aare.edu.au/01pap/lig01450.htm
[13] Haryatmoko; (2003); op cit; hal. 218
[14] Michel Foucault; (2002); Power/Knowledge-wacana Kuasa/pengetahuan; saduran Yudi Santosa; Yogyakarta: Bentang Budaya; hal. 251
[15] Muridan S. Widjojo; (2003); Strukturalisme Konstruktivis, Pierre Bourdieu dan kajian sosial budaya; dalam Perancis dan Kita – Strkturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa; penyunting Irzanti Sutanto, Ari Anggari Harapan; Jakarta : Wedatama Widya Sastra; hal. 49
[16] Eriyanto (2001); Ibid
[17] David Chaney; (2004); Lifestyles-Sebuah Pengantar Komprehensif; saduran Nuraeni; Yogyakarta: Jalasutra;
[18] Ibid. 114
[19] Widjojo; (2003); op cit; hal. 44
[20] Michel Foucault; (2002); op.cit; hal. 251
[21] Eriyanto (2001); op cit; hal. 76-77
[22] Donny Gahral Adian; (2002) Berfilsafat tanpa sabuk pengaman dalam pengantar buku Michel Foucault-Pengetahuan dan Metode-karya-karya penting Foucault; saduran Arief; Yogyakarta: Jalasutra, hal. 22
[23] Adian; (2002) op.cit, hal. 23
[24] Ibid, hal. 23-24
[25] Value and Capital in Bourdieu and Marx; online documents: http://www.art.man.a.uk/SPANISH/staff/Writings/capital.html
[26] Widjojo; (2003); op.cit; hal. 45


[Baca Selangkapnya »»]

Selasa, 03 Juni 2008

Manusia Indonesia Abad 21 yang Berkualitas Menurut Psikologi


Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan gaya hidup.


Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan pandangan serta gaya hidup.

Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya.

II. KONDISI DAN SITUASI DI ABAD 21Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.

Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan. Apalagi media massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat mengikutinya, antara lain melalui iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak.

Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak. ‘Teman’ dan ‘pesaing’ orang tua menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau penguat pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut.

Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di luar, padahal ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap diharapkan mampu berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada, siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad 21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus menjadi pengganti mereka berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.

Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad 21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan banyak pengkajian dan pertimbangan.

Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara.

III. PERILAKU MANUSIA INDONESIA
1. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai suku bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan dan persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam kehidupan sehari-hari.

Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk tampil sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung tidak mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya. Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk bersama oleh masyarakat "seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat agar bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru, dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya. Perpaduan berbagai ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan falsafah gotong royong, semangat persatuan dan kesatuan, pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

2. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru

Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."

Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah yang mewarnai periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang materalitis, individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa menjadi pemenang dan mengalahkan pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia) menjadi arah pembentukan perilaku oleh berbagai pihak.

Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu akhirnya memang ‘berhasil’ mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru. Keadaan ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan tersebut. Akibatnya, banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme, nepotisme dilakukan orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku menipu, mencuri, merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Berdasarkan kondisi kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia, Sri Mulyani Martaniah (1991) melihat banyak aspek dalam era globalisasi yang dapat berdampak negatif dan bisa menyebabkan patologi sosial dan memerlukan pengembangan psikologi komunitas sebagai salah satu cara mengatasinya.

Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut, tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai kapan.

Manusia tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran keberhasilan telah merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang teguh dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan menumbuhkan sikap gotong royong dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang meletakkan unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing dan memenangkan persaingan, tak peduli apapun caranya dan siapapun yang dihadapi.

Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa masuk ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada saat yang bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan terhadap nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan dalam cara kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan sistem kapitalis melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam pengaruhnya dalam proses pembentukan perilaku.

Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era Reformasi, yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul beraneka ragam. Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki masing-masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat agar tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi mereka yang berbeda pendapat. Demonstrasi, pembentukan partai-partai baru, penjarahan, perkosaan, doa bersama, tuding menuding, menghujat dan dihujat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Negeri seribu pulau dengan nyanyian nyiur melambai yang melambangkan kenyamanan dan kedamaian seolah terpuruk dalam tangis Pertiwi yang meratapi nasib bangsa dan negara yang tampak ‘carut marut’ oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Kondisi dan situasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirasakan dalam keadaan terpuruk itu menjadi bertambah sulit proyeksinya ke depan, karena perilaku yang tampil di masyarakat tidak lagi mencerminkan kepedulian terhadap hukum dan aturan kehidupan bersama yang menimbulkan ketenteraman dan kenyamanan.

IV. MAKNA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan sebagai:

suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara
berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan keadilan
ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu:

memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau
mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.
Persepsi masyarakat terhadap hukum dan kenyataan yang dirasakannya dalam menerima perlakuan hukum adalah unsur penting dalam pengembangan perilaku hukum. Bila masyarakat sungguh mempersepsikan bahwa hukum melindungi kepentingan mereka dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas yang diakui legitimasinya oleh warga, maka proses pemantapan ataupun perubahan perilaku yang dilakukan melalui pendekatan hukum akan dapat terlaksana secara teratur dan terencana.

Kepastian hukum dan jaminan pelaksanaannya merupakan landasan bagi masyarakat dalam pengembangan perilaku normatif yang diperlukan bagi keamanan dan kenyamanan kehidupan bersama. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum merupakan unsur penting dalam mengembangkan perilaku yang peduli hukum, yang tampil dalam bentuk perbuatan yang memahami aturan, melaksanakan aturan, dan kesediaan menanggung konsekuensi akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya. Perasaan diperlakukan secara adil juga penting bagi dipatuhinya aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai hukum yang berlaku. Sebaliknya, perlakuan hukum yang dirasakan berpihak akan mendorong timbulnya perilaku yang cenderung mengingkari, yang bisa muncul dalam bentuk "menghindari" atau bahkan melawan hukum (denda ‘damai’ atau suap).

Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan tujuan ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Kesiapan seseorang untuk bisa mandiri dalam membedakan yang benar dan salah berdasarkan norma yang diyakininya dan dijadikannya sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan proses yang bertahap. Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan pertimbangan moral., yaitu:

Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang.
Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga masyarakat yang baik.
Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang mendasari perilakunya.

Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:

Cara belajar instrumental
Cara belajar observasional
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar KTP baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan menaati hukum justru menghasilkan punishment.

Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal tersebut maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah" dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."

Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu:

penilaian pengamat tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh model
persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah menghasilkan konsekuensi positif atau negatif
perkiraan pengamat, apakah ia akan menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang ditunjukkan model.
Contoh: Si Polan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut melanggat peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa atasan dan rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada saat mangkir kerja. Dalam situasi ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir kerja dan melakukan pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang diamatinya. Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas yang diakui kewenangannya mengenai:

a) perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut

b) konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau menolak

melaksanakan perilaku yang dimaksud.

Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:

hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut
konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Arah pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat menekankan pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu diarahkan agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa mengalami gangguan. Untuk itu harus selalu diupayakan terciptanya stabilitas ekonomi agar dapat menarik para investor. Stabilitas ekonomi memerlukan dukungan stabilitas politik, yang kemudian oleh para pejabat negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya pendekatan keamanan (security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin banyak kebijakan, keputusan dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal dalam kenyataannya tidak jarang hal tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan kadang-kadang bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain terlihat dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum, seperti pemberian hak monopoli untuk komoditi tertentu, keputusan-keputusan pengadilan yang dirasakan kurang adil, misalnya penyelesaian kasus Kedung Ombo dan hak tanah ulayat di Irian Jaya. Dalam bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam proses penegakan hukum ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang yang dimiliki pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun keputusan yang diambil.

Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku:

budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.
adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.

Apa arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka pembentukan perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan observasional?

Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang bertentangan atau tidak konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan kebingungan, baik di tingkat pelaksana maupun pada mereka yang dikenai oleh peraturan tersebut. Padahal untuk dapat terjadi proses pembentukan perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh peraturan tertentu, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang sesuai peraturan.
Adanya penerapan hukum secara berbeda, tergantung pada status dan kekuasaan orang yang ikut dalam proses penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan individu yang dikenai oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari hukum/peraturan tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian. Bila kondisi ini tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh hukum tersebut tidak akan terjadi.
Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan lebih sering terjadi dalam hal memperoleh perlakuan yang berbeda dan menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya dapat menjelaskan semakin meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan nepotisme di kalangan penguasa di berbagai tingkatan di negara kita.
Dengan perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau pemberitahuan mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang merupakan konsekuensinya tidak efektif karena tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian. Di sisi lain, hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum, yaitu adanya perlakuan yang berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru menjadi semakin tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan tanpa pengecualian" justru memberikan konsekuensi positif (reinforcement) pada mereka. Dalam kondisi demikian kiranya akan sangat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan hukum secara konsisten tanpa pengecualian akan dapat ditegakkan.

Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mungkin terjadi:

Mereka yang merasa dirugikan akan berusaha untuk memperjuangkan perbaikan melalui cara-cara yang dimungkinkan oleh hukum. Alternatif ini semakin mungkin untuk dipilih bila situasi dan kondisi memungkinkan dan cukup banyak anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak asertif untuk mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi).
Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan.
Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri.
Kondisi dan situasi negara dewasa ini, yang sedang dilanda berbagai kesulitan dalam kehidupan akibat krisis moneter berkepanjangan, serta terbongkarnya praktek-praktek pelanggaran hukum justru oleh mereka yang seharusnya dijadikan panutan masyarakat, baik sebagai penentu kebijakan maupun selaku aparat penegak, berdampak luas terhadap kondisi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan ini kemudian melahirkan sikap yang cenderung mengabaikan hukum. Perilaku masyarakat yang akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan melanggar hukum dalam memenuhi kebutuhannya dan ‘main hakim sendiri’ dalam menyelesaikan masalahnya, harus ditanggapi secara sungguh-sungguh dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai dijadikan pola perilaku menetap karena ‘dilegalisir’ secara tak langsung oleh pejabat negara. Tanpa disadari pernyataan pejabat negara yang dimaksudkan sebagai simpati terhadap kesulitan hidup yang dialami warga masyarakat (atau justru menarik simpati masyarakat?) telah menimbulkan persepsi yang mengesankan ‘disahkannya’ perilaku hukum yang menyimpang. Contoh: pengungkapan dan penyelesaian masalah perbankan, tanah, operasi becak di Jakarta, kasus orang hilang, penjarahan, dan sebagainya.

Peristiwa huru hara di Jakarta dan kota-kota lainnya pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 dan hari-hari berikutnya semakin membawa negeri ini dalam keadaan terpuruk dengan krisis kepercayaan yang sangat berat. Situasi yang tak kunjung stabil, sementara masyarakat menantikan kepastian dalam penegakan hukum, akhirnya menumbuhkan sikap apatis dan putus asa dengan segala konsekuensinya. Kondisi ini mengantar pemerintah pada beban yang amat berat, terutama dalam hal pemulihan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Diperlukan sikap yang mampu menampung aspirasi ketiga kelompok masyarakat dalam pengembangan moral (prakonvensional, konvensional, pascakonvensional) agar kehidupan bersama bisa ditata kembali. Komunikasi yang digunakan, baik bentuk maupun jalurnya, harus sangat memperhitungkan karakter kelompok masyarakat secara cermat, sehingga tidak terjadi salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam kaitan ini pernyataan pejabat, penjelasan pemerintah, penetapan kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala lapisan masyarakat, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga dapat dipahami dengan baik.

Bagaimana mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah perilaku masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip perubahan perilaku berarti diperlukan hukum yang berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan uraian yang jelas tentang konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati atau dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara efektif diperlukan persyaratan berikut:

Sistem hukum tersebut harus dimengerti oleh mereka yang akan melaksanakannya maupun oleh mereka yang akan dikenai oleh hukum tersebut. Hal ini berarti perlu dilakukan peningkatan keahlian (memiliki expert power) dari para penegak hukum sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan dihormati oleh semua pihak. Di samping itu perlu pula dilakukan pendidikan/penyuluhan hukum bagi seluruh anggota masyarakat sehingga mereka mengetahui apa yang merupakan hak mereka dan apa yang merupakan tanggung jawab mereka.
Sistem hukum tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan mengikat semua warga tanpa pengecualian termasuk si pembuat hukum sendiri (Golding, 1975). Keberhasilannya terutama akan sangat ditentukan oleh keteladanan (memiliki referent power) dan political will dari para pemegang kekuasaan serta komitmen dari semua pihak.
Sistem hukum tersebut didukung oleh sistem dan budaya demokratis di mana masyarakat dan pers dapat menjalankan fungsi kontrol.
Bagaimana proyeksi kita ke depan? Pengalaman selama enam Pelita menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing kita di dunia internasional. Berarti kita memerlukan suatu pembaharuan yang menyeluruh sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan bangsa. Beberapa hal yang dapat disebutkan antara lain adalah:

Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar dapat menjadi bangsa yang percaya diri dan sekaligus mampu berkiprah di dunia internasional. Untuk mencapainya diperlukan suatu transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan berorientasi kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi ke depan.
Untuk dapat berkiprah di dunia internasional kita perlu memperoleh kepercayaan dari dunia internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilai-nilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas hukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem, maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil bila tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku pada tingkat individu sebagai anggota masyarakat.

Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:

menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau
menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua pilihan tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana unsur keteladanan (referent power) memegang peranan penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang dan semakin besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi masa depan bangsa.

V. PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU DAN PROYEKSI DI ABAD 21Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan. ‘Paksaan’ yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman.

Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.

Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Perilaku masyarakat menuju abad 21 tidak lagi mencerminkan setia kawan, gotong royong seperti yang tampak di era sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur, terutama di kota-kota besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada kesibukan pribadi, tidak acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung (individualis). "Pokoknya saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih semuanya. Apa yang terjadi dengan orang lain, bukan urusan saya," kata si individualis, yang juga masuk ke dalam rekaman anak dan bukan tak mungkin dijadikannya pola bertingkah laku.

Ketidakpastian dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan oleh anak dalam mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang tuanya sendiri maupun orang tua lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak adanya kepatuhan terhadap hukum, pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin sepele, adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi referensi dalam menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap barang-barang simbol teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan hidup sebagai kecenderungan hidup materialistik bisa dijadikan dasar pola pembentukan perilakunya. Penggunaan berlebih terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan yang bisa dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah referensi lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi dan intensitas perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah situasi lain yang diamati anak. Mereka melihat mengurangnya kemampuan menalar, komunikasi dan penyelesaian masalah melalui dialog di antara pelaku-pelakunya. Dalam hal ini pengaruh media massa terasa sangat bermakna.

Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti?

Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.

Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan. Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya, ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi, sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa hasil asuhan dan pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat secara jelas dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah pendidikan dan asuhan yang telah diberikan? Tercapaikah harapan dan cita-cita atau impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya? Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya sendiri, yang mungkin sama dengan harapan orang tua dan lingkungan pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu baru akan tampak nanti, ketika anak sudah menjadi dewasa.

Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanak-kanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap kali cukup mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman memang selalu ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan juga sangat penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke masa depan. Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan asuhan orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi, terutama dalam rangka mengembangkan empati (penghayatan, kemampuan merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika dididik dan diasuh orang tuanya, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan akan cenderung menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri.

Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.

Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri.

Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia mampu menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat dan karunia-NYA.

VI. BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KUALITAS MANUSIA INDONESIADari berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode Orde Baru yang memfokuskan pembangunan di bidang ekonomi, terlihat kecenderungan untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran manusia Indonesia dewasa ini yang lebih menandakan sikap instrumental, egosentris, kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai kepuasan pribadi. Bernadette N. Setiadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya (1989) menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun 2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dan kawan-kawan (1985) dalam penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan kompetensi pribadi.

Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila dikaitkan dengan proses pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi membawa kemungkinan sebagai berikut:

terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh
terbuka pilihan pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif, perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas) terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
La Piere (1981) mengartikan pembangunan sebagai suatu usaha yang secara sistematis direncanakan dan dilakukan untuk merubah kondisi masyarakat yang ada ke arah kondisi dan taraf kehidupan yang lebih santun. Di sini terkandung arti bahwa pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial, yang mau tidak mau merujuk pada terjadinya perubahan tingkah laku individu warga masyarakat yang sedang membangun. Fuad Hassan menyatakan bahwa hakiki manusia adalah kemampuan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan kehidupannya dalam suatu keadaan yang menjadi pilihannya. Manusia berpeluang untuk diarahkan agar bisa menumbuhkan motivasi, sehingga di setiap saat dan situasi ia selalu berusaha mencari peluang dan kesempatan yang menarik keinginan dan perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Di setiap saat dan situasi manusia dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan. Ia memerlukan kebebasan untuk dapat menentukan pilihan yang baik, yaitu pilihan dengan kapasitas, bakat serta minat atau kebutuhannya secara umum. Dengan kebebasan itu barulah ia leluasa melakukan aktuialisasi diri, menentukan arah dan pengembangan hidupnya.

Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari kelompok. Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need) yang kemudian mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi mahluk yang egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu sehingga tidak mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme dan kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di lingkungannya. Disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping lainnya karena usaha yang dilakukan tidak lagi sekadar ingin memiliki tetapi juga memuaskan, sementara kepuasan sifatnya relatif dan cenderung tidak berujung. Keserakahan menampilkan wajah egosentris yang kemudian melepaskan diri dari kasih sayang (Gromm). Kemudahan komunikasi membuat individu melupakan peran-peran lain dalam kehidupan, terutama yang menyangkut kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat menonjol. Situasi ini bisa menjadi pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan kontrol diri.

Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan. Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini harus diciptakan kesempatan bagi individu untuk memecahkan masalah berkaitan dengan adopsi tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Bernadette N. Setiadi (1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso Sukardi (1991) dan Soesmaliyah Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha merubah tingkah laku manusia dapat dilakukan melalui intervensi terencana perubahan tingkah laku.

Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia, pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam keterampilan hubungan antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam rangka menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang menekankan analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar partisipatif, penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar. Dalam rekayasa terencana perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai, bahkan bisa menghambat.

Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa dibantu untuk menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh globalisasi masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang ‘masih tersisa’ saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara produktif? Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di lapisan mana kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk pembentukan perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?

VII. PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG BERKUALITAS TINGGI DALAM MASYARAKAT ABAD 21Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu:

menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih, Transparan, Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.

Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah sosial, ada masalah agama yang secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku, selain masalah ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu dimiliki agar dapat menempatkan diri dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia (siapapun dia, dari kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan, kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan penampilan Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia, yang selanjutnya akan dapat menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang (pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).

Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah (OPI) diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.

John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan makna kehidupan, pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan penduduk) dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis.

Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu:

teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi adalah:

keluarga
sekolah
kelompok sebaya
media massa
opini publik
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.

Harapan untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka pikir tersebut (untuk pemahaman, proses dan pembentukan perilaku dalam upaya sosialisasi), terutama dalam upaya membentuk manusia yang cerdas, terampil, tangguh, mandiri, berdaya saing tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak individualis. Untuk itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang diterimanya dari lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami secara nyata, bukan sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan pujian/penghargaan harus dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan patung-patung polisi lalu lintas di berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh pemahaman "hitam putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara fisik (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar penempatan rambu-rambu lalu lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan pertimbangannya sendiri, menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu mempertimbangkannya dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih luas pandangannya, sehingga pemahaman terhadap norma dalam kehidupan bersama, yang mengacu pada kehidupan bersama, bisa diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok ketiga memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma dalam kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman. Pengelompokan tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan berikut sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada acuan hukum yang sama, tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu memperhatikan kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik.

Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal, adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang antara lain merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi syarat utama bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan mengurangi bobot aturan yang ditetapkan. Apalagi kalau figur yang seharusnya menjadi panutan ternyata menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama. Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut maka penyusunan undang-undang dan peraturan penjelasan serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk komunikasi yang efektif, sesuai karakteristik masing-masing kelompok.

Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya menegakkan kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama, masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya sebagai individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan berbagai bentuk perilaku ‘terkejut’ harus segera diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku beberapa pihak yang saling tunjuk, saling menghujat, saling menghakimi tanpa mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi, sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang jauh dari kehidupan sadar hukum.

Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap Indonesia. Beban psikologis ini amat berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh jajarannya menyadari hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir yang lebih luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah mereka melihat dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku anggota masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu dimasyarakatkan secara luas dan terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi bersama agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya penyelesaiannya, yang tentunya harus sangat memperhitungkan karakter masing-masing kelompok, sehingga bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan kemudian bisa dipahami sebagaimana mestinya.

Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik antara seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang terkesan kontradiktif antar departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik sebagai tanggapan maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan kesepakatan di antara para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang terkait. Dengan demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab tidak ada yang bisa dijadikan pegangan secara jelas, yang akibatnya memunculkan perilaku yang dikembangkan atas interpretasi sendiri. Kondisi ini dapat memunculkan situasi yang rawan bagi kehidupan bersama, sebab tak ada acuan yang jelas dan tak ada kepastian yang bisa dipercaya untuk dijadikan pedoman.

Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan kemampuan masyarakat dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan tidak sekadar responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan masyarakat dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi. Tatanan kehidupan menurut adat dan agama harus jelas posisinya dalam tatanan hukum negara, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa tertampung dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan bersama. Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat, kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika, kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan dalam bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.

VIII. PENUTUPManusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting.

Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.

Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar saja.

Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga tidak memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin.

DAFTAR PUSTAKABandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc

Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K. (1993). Social Psychology in the ‘90s (6th Ed.). Pacific Groove, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing Company.

FOPI (1998): Kerangka Acuan "Curah Pikir" Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. FOPI. Jakarta, Agustus 1998

Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law. London: W.W. Norton Company.

Golding, M.P. (1975), Philosophy of Law. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Himpsi (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7 Desember 1991. Himpsi Pusat.

Himpsi (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus 1998.

Lev, D.S. (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Penerjemah, Nirwono dan A.K. Priyono. Jakarta LP3ES.

Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey. Prentice Hall, Inc.

Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Poernomo SS, I (1997): Era Globalisasi, Tantangan atau Ancaman? Makalah disampaikan pada Acara Seminar Sehari "Kiat-Kiat Mendidik Anak Dalam Menyongsong Era Globalisasi" diselenggarakan oleh Ikatan Isteri Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat, Jakarta 6 September 1997.

Poernomo SS, I (1998): Saat Tepat Mengajar Anak Hidup Susah. Makalah disampaikan pada acara Temu Pakar dan Pembaca, diselenggarakan oleh Majalah Ayahbunda, Jakarta 28 Agustus 1998.

Poespowardojo, S (1998). Kondisi Budaya Dewasa ini dan Implikasinya bagi Dunia Pendidikan. Makalah disampaikan dalam pertemuan Konsep Pendidikan Tinggi Katolik di Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, 16 Januari.

Seran, A. (1997). Hukum dan Moral: Refleksi Etis Atas Paham Mengenai Hukum Yang Baik. Atma Jaya, Tahun X No. 3, 1-15.

Setiadi, B.N. & Indarwahyanti G, B.K. (1998): Peranan Hukum Dalam Pembaharuan Pola Perilaku Masyarakat. Makalah disampaikan pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, Depok 30 Maret-1 April 1998


[Baca Selangkapnya »»]
Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template